Rabu, 02 Maret 2011

Pendidikan Kewarganegaraan-Demokratisasi

Nama  : Dani Hamdani
NPM    : 16209229
Kelas    : 2EA08
Mata kuliah     : Pendidikan Kewarganegaraan

Demokratisasi adalah suatu perubahan baik secara cepat maupun lambat untuk mencapai Demokrasi. Demokrasi itu sendiri adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Sekarang inn Demokratisasi Pendidikan di Indonesia sangatlah rendah, hal ini di akibatkan karena masuarakat kita yang sudah tidak menganggap penting arti dari pendidikan. Terdapat 2 faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia yaitu terdapat factor internal dan factor eksternal. Factor internal itu sendiri  yaitu rendahnya kesadaran dari setiap individu dan kurangnya perhatian dari keluarga dan lingkungan sekitar. Sedangkan factor eksternal itu sendiri  yaitu factor-faktor dari luar seperti lingkungan dari luar lingkungan.
Berkembangnya teknologi seperti saat ini dapat mempengauhi  proses Demokratisasi di Indonesia. Tentu ada dari berkembangnya teknologi tersebut. Dampak dari berkembangnya teknologi sekarang yaitu masyarakat dapat menyuarakan suaranya secara langsung melalui adanya jejaring social seperti “facebook dan Twitter”. Hal ini merupakan dampak positif perkembangan proses demokratisasi di Indonesia terutama perkembangan dalam proses komunikasi politik walaupun ada dampak negative dari perkembangan teknologi tersebut.
Tentu tidaklah mudah untuk melakukan proses Demokratisasi, terlebih lagi melakukan proses Demokratisasi dalam pemerintahan di Indonesia, tentu banyak pihak yang pro dan kontra dengan perubahan yang akan dilakukan. Ada pihak yang menginginkan perubahan secara terus-menerus dan ada juga pihak yang tidak ingin adanta Demokratisasi atau perubahan. Adanya keinginan perubahan dari suatu individu dapat berpengaruh kepada proses Dekokratisasi, apalagi tidak bisa dipungkiri lagi jika di zaman globalisasi seperti sekarang perubahan sangatlah mutlak untuk negara manapun.
Topik yang sekarang sedang hangatnya yaitu tentang kisruhnya para supporter bola dari berbagai penjuru Indonesia yang berkeinginan agar Ketua PSSI saat ini Nurdin Halid mundur dari jabatanya karena kinerja Nurdin Halid selama menjadi Ketua Umum PSSI tidaklah membuahkan hasil yang diharapkan oleh seluruh pecinta bola di tanah air, tentu rakyat ingin sekali adanya perubahan di tubuh PSSI yang sangat signifikan karena beberapa pengurus PSSI ada yang telah menjabat selama 20 tahun di dalam tubuh PSSI. Masyarakat ingn sekali adanya perubahan dan penyegaran dalam tubuh PSSI dengan harapan prestasi Timnas Indonesia menjadi lebih baik di mata dunia. Para pendemo silih bergantian mendatangai kantor PSSI di Gelora Bung Karno, Senayan yang menyuarakan agar Nurdin Halid turun dari kursi jabatanya sebagai Ketua Umum.
Hal diatas merupakan sebagian contoh kecil dari proses Demokratisasi yang menginginkan adanya perubahan yang signifikan demi terciptanya proses Demokrasi di Indonesia.
Contoh lain yang sekarang sedang ramai adalah penyerangan sekelompok warga terhadap Ahmadiya di Cikeusik, Pandeglang Banten. Tentu ada sebab-sebab penyerangan tersebut yakni warga ingin adanya ketegasan dari pihak Ahmadiya yang menurut warga telah menyimpang dari ajaran agama Islam. Pemerintah sudah memberikan pilihan kepada Jema’at Ahmadiyah apakah ingin kembali kepada ajaran Islam yang dianut oleh masyarakat atau ingin mendirikan agama baru. Tentu warga ingin adanya Demokratisasi dengan adanya masalah ini.
Demokratisasi
Meski demikian, yang menjadi titik penting arti globalisasi adalah bahwa ia juga telah memungkinkan tuntutan ke arah demokratisasi transnasional di seluruh penjuru dunia makin meningkat (Anthoni Giddens, 2000). Tuntutan persamaan hak dan kesejahteraan hidup, kesetaraan derajat, dan desakan terbentuknya keseimbangan tatanan dunia yang lebih adil kian kencang disuarakan. Globalisasi telah membuat dunia makin terbuka, dan melahirkan aneka tuntutan perluasan partisipasi dan pemberdayaan rakyat yang lebih besar.
Fenomena ini juga diiringi oleh munculnya berbagai bentuk penegasan kembali identitas-identitas komunal masyarakat. Adanya tuntutan pengakuan atas identitas komunal dan hak budaya lokal sekaligus membuktikan, ada resistensi atas kecenderungan peminggiran, dominasi dan homogenisasi global.
Di antara bentuk artikulasi penegasan identitas tampak paling radikal pada gerakan fundamentalisme agama yang tengah marak akhir-akhir ini. Dengan demikian, hal ini berarti bahwa kelahiran fundamentalisme agama secara fenomenologis bukan an sich akibat dampak interpretasi tekstual-skripturalistik atas dogma dan doktrin keagamaan, melainkan juga akibat respons radikal atas dinamika perkembangan global yang dominatif dan eksploitatif dengan menggunakan agama sebagai basis legitimasi.
Prof Bassam Tibi (1998), seorang intelektual Muslim Syria yang bermukim di Jerman, menunjukkan bahwa fundamentalisme Islam adalah perlawanan atas hegemoni peradaban Barat, yang direpresentasikan oleh ketidakmampuan negara-bangsa dalam menyelesaikan problem-problem ekonomi, budaya, dan sosial politik. “Solusi Islam” bagi mereka adalah antitesis dari tatanan Barat yang dianggap bobrok dan amoral.
Dengan demikian, makin jelas sekarang, bahwa lemahnya posisi negara dalam percaturan ekonomi dan politik global yang berakibat pada terabaikannya kesejahteraan dan keadilan sosial, menjadi alasan sekaligus lahan subur bangkitnya radikalisme agama. Pengalaman sejarah memperlihatkan, tidak mudah mengeliminasi gerakan fundamentalis agama, karena ia melegitimasi diri pada kebenaran agama dan cita-cita memperbaiki “demoralisasi” tatanan sosial. Sama halnya jika membiarkan globalisasi lepas kendali serta menindas budaya dan identitas lokal, maka gerakan penegasan kembali identitas akan semakin tajam.
Oleh karena itu, ada dua upaya kultural untuk mengantisipasi dampak negatif perkembangan global ini.
Pertama, pribumisasi agama (Islam). Gagasan yang pernah dilontarkan Abdurrahman Wahid ini menjadi demikian relevan dalam menghadapi fenomena bangkitnya radikalisme agama dewasa ini. Ia merupakan gerakan budaya yang mau meletakkan pemahaman keagamaan dalam bingkai kultur dan budaya masyarakat. Agama dipahami sebagai etika moral yang berakulturasi dan menyatu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tanpa perlu memformalkannya dalam hukum normatif.
Tentu, gagasan ini tidak perlu meninggalkan “otentisitas Islam”, sebagaimana digembar-gemborkan kalangan fundamentalis. Malahan otentisitas dalam arti “nilai-nilai profetis” keagamaan justru mewarnai dan melebur dalam ragam budaya masyarakat, tanpa “melukai” adat istiadat yang mereka anut sebelumnya. Namun lebih dari itu, gagasan pribumisasi Islam secara sosial politik sesungguhnya adalah ruang di mana ekspresi lokalitas memperoleh tempat semestinya dalam ruang publik. Masyarakat diberi hak untuk menghayati keberagamaannya secara historis sesuai dengan tradisi dan kepentingan kulturalnya.
Begitu pula kebudayaan tidak lantas menjadi subordinasi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya saling berdialog satu sama lain dan saling mengisi membentuk lapis kebudayaan yang membebaskan dan lebih emansipatoris. Pribumisasi Islam bukanlah suatu radikalisme agama, apalagi suatu pendangkalan agama, tapi kekuatan budaya masyarakat Islam yang bertolak pada realitas sosio-kulturalnya.
Kedua, dominasi kekuatan ekonomi global yang ikut berperan pada proses degradasi demokrasi ini harus diimbangi dengan penguatan civil society yang lebih mapan dan mandiri. Pengertian otonomi masyarakat di sini adalah, ia bukan hanya independen dari intervensi negara, tapi juga mandiri dalam pengertian lepas dari dominasi kekuatan paradigma serta nalar budaya dan ekonomi sistem global yang eksploitatif, yang bercorak kapitalistik.
Pembangunan civil society diorientasikan pada terbentuknya kehidupan masyarakat yang demokratis dan pluralis, di mana masyarakat berbagi norma-norma dan nilai-nilai dasar dalam sebuah konsensus bersama yang mempertemukan mereka dengan pihak lain berdasarkan kemajemukan dan kesetaraan.
Penting artinya bagi masyarakat sipil untuk mengembangkan daya kekuatan sendiri guna mengantisipasi fragmentasi kultural akibat derasnya arus globalisasi. Hal ini dapat meningkatkan solidaritas antarkelompok dalam mengembangkan kreativitas usaha-usaha kemasyarakatan, sekaligus karakter budaya dan kemandirian ekonominya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar